CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 14 Agustus 2013

Dampak Emosi Terhadap Kesehatan Tubuh

Dunia medik melihat seseorang secara utuh menyeluruh. Tak cukup mengamati badan semata. Yang tampil hadir dalam diri bukan cuma raga, melainkan juga jiwa. Di balik jiwa ada pikir dan rasa. Sosok rasa atau emosi saling baku pengaruh dengan badan. Penderitaan badan membuat emosi ikut menderita. Emosi yang getir membuat badan ikut sakit. Dua-duanya perlu disehatkan mengingat emosi bisa kita kendalikan. Makin cerdas kita kendalikan emosi, makin sehat badan, makin tinggi puncak raihan hidup (life achievement). Peran kecerdasan emosi (emotional quotient) berkali-kali lebih besar ketimbang peran kecerdasan intelegensi (IQ).

Itu sebabnya banyak orang tua berkata jangan lekas emosi. Keputusan yang diambil pada saat emosi selalu menyesatkan. Membiarkan emosi negatif berkepanjangan juga dapat merusak badan. Rasa dengki, iri hati, khawatir dan cemas janganlah dipelihara karena pasti tidak membuat kita sehat. Jangan-jangan malah bisa mematikan gara-gara malstress atau stres jahat berkepanjangan.

Pompa Adrenalin

Bohong kalau hidup bisa terbebas dari situasi emosional. Romantika hidup butuh suasana beremosi juga. Agar sehat perlu lebih sering merasa gembira, merasa bahagia, selain merasa sejahtera. Menekan sesedikit mungkin memasuki wilayah rasa sedih duka lara. Selama tidak dibiarkan berkepanjangan, sah saja kalau sesekali harus marah, benci, atau merasa kehilangan. Itu bagian dari upaya mengeluarkan unek-unek yang mengganjal dalam jiwa (catharsis). Memendamnya justru tidak bikin kita nyaman.

Berlama-lama depresi bikin adrenalin terpompa terus membanjiri darah. Otot-otot tubuh selalu dalam keadaan siap-siaga penuh. Tangan mengepal, pupil mata melebar, posisi tubuh dalam sikap tegang, selain gampang tersinggung. Lama-lama terus seperti itu hidup jadi letih. Keletihan menahun orang-orang yang emosinya kencang, membuatnya letih berkepanjangan (chronic fatigue syndrome). Letih fisik dan letih jiwa juga.

Emosi pasif, seperti bersedih, merasa gagal, merasa kehilangan, meninggikan adrenalin darah yang kemudian meruntuhkan sistem kekebalan tubuh. Emosi agresif seperti menjadi gusar, berang, amuk, hormon adrenalinmeluber dalam darah. Ujungnya bisa berisiko serangan jantung kalau bukan stroke.

Karena sistem kekebalan tubuh runtuh saat emosi negatif, maka infeksi gampang menyerang. Serangan TB (tuberculosis) terkait faktor emosi juga. Hidup merana berkepanjangan, berisiko melemahkan ketahanan paru-paru juga, sehingga infeksi paling ringan pun rentan menjangkit.

Tipe emosional

Orang yang tensi darahnya mendadak naik kalau diperiksa dokter tergolong beremosi negatif. Kasus ini tergolong “white coat syndrome”, merasa takut kalau ketemu dokter. Orang dengan kepribadian tipe A (Type A personality) tergolong kurang sabar, irama hidup kencang dan perfeksionis. Tipe orang dengan kepribadian seperti itu lebih berisiko terserang jantung koroner.

Orang pesimistik biasanya beremosi negatif. Saat mereka mendengar vonis kanker emosinya langsung kelabu. Dalam kondisi emosi yang terus menerus demikian, kekebalan tubuh makin melemah, kanker lebih memburuk, sehingga harapan untuk bertahan hidup biasanya lebih pendek. Sebaliknya, orang yang memiliki emosi positif. Penyembuhan doa, misalnya, bagian dari beremosi positif, sistem kekebalan tubuh juga meningkat, sehingga prognosis penyakit menjadi lebih baik.

Proses kesembuhan seseorang akan terbantu jika si pasien beremosi positif. Keyakinan akan sembuh dan berkeyakinan niscaya Tuhan akan menolong, maka kesembuhan terjadi karena semua sistem organ tubuh dalam kondisi seimbang. Kondisi badan, jiwa, dan roh dalam harmoni. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar